Banyak orang meyakini bahwa leading people is an art.
Sebagai seni, maka tidak ada rumus pasti tentang cara memadukan
reramuan tindakan pemimpin dalam mengarahkan perilaku bawahan. Meski
begitu, sejumlah pakar sudah sangat banyak mengemukakan pandangan mereka
tentang model kepemimpinan yang efektif. Mulai dari yang transaksional
alias “jual-beli”, lalu ada juga yang situasional alias “tergantung
sikon”. Bahkan sampai yang nuansanya transformasional alias “mengajak
bawahan berubah hingga ke lubuk hati terdalam”. Meskipun demikian,
penerapan berbagai model ini pada kenyataannya tidak selalu berjalan
mulus. Banyaknya kasus kepemimpinan yang gagal seakan membuat berbagai
model kepemimpinan tadi tidak ada artinya.
Berbagai
pusat keramaian dan tempat-tempat rekreasi belakangan ini dipadati para
orang tua dan anak sekolah yang sedang menikmati liburan. Ada kelegaan
dan keceriaan menghiasi wajah anak-anak sekolah tersebut setelah ulangan
dan ujian akhir usai. Mereka layak untuk menikmati liburan ini dan
besar harapan dari para orang tua agar anak sekolah mendapatkan
pengalaman yang unik dan berharga.
Selama
beberapa hari, anak-anak terbebas dari aktivitas sekolah, tugas,
ulangan, ujian, bahkan sampai aktivitas rutin bangun pagi. Liburan
memang layak diidamkan oleh anak sekolah termasuk orang tua. Sayangnya,
masa-masa liburan tak akan lama dan harus berakhir. Menjelang masuk
sekolah, anak dan orang tua juga akan memenuhi toko buku dan toko
pakaian yang menjual kelengkapan sekolah. Segala materi dan atribut
sekolah seperti buku pelajaran, alat tulis, seragam sekolah, tas sekolah
sampai pernak-pernik seperti ikat rambut dan kaos kaki menjadi incaran
anak dan orang tua. Bahkan, orang tua harus mengambil cuti (bagi orang
tua yang bekerja full time) untuk menyempatkan pergi belanja.
Inilah salah satu ritual memasuki tahun ajaran baru. Selain itu, bagi
anak-anak yang lulus jenjang pendidikan tertentu (misal lulus SD), orang
tuanya sudah pasti harus sibuk pula mengurus pendaftaran dan memenuhi
administrasi jenjang pendidikan selanjutnya. Berbagai kesibukan memenuhi
hari-hari setelah berlibur.
Kisah
pun kemudian terus berlanjut. Setelah kebutuhan materi terpenuhi,
menjelang periode masuk sekolah, orang tua mulai duduk di kursi
arogannya dengan memberikan berbagai wejangan atau nasihat kepada
anaknya. Beberapa nasihat yang klise terlontar:
“Kalo sudah kelas 5 berarti harus lebih rajin lho!”
“Kamu sudah semakin besar, sudah SMP. Jadi harus mandiri ya, jangan bangun siang lagi!”
“Kamu kan sudah masuk SMA, berarti harus tahu tanggung jawabnya ya! Jangan banyak main sama baca novel aja. Nanti kalau nggak lulus, gimana?!”
“Kamu sudah semakin besar, sudah SMP. Jadi harus mandiri ya, jangan bangun siang lagi!”
“Kamu kan sudah masuk SMA, berarti harus tahu tanggung jawabnya ya! Jangan banyak main sama baca novel aja. Nanti kalau nggak lulus, gimana?!”
Orang
tua juga mulai membeberkan berbagai tugas-tugas tambahan untuk mereka.
Orang tua mulai menuntut agar anaknya melakukan hal-hal yang lebih
positif sehubungan dengan peningkatan jenjang pendidikan dan kelas anak.
Tanpa disadari, orang tua berbicara hanya satu arah tanpa
mempertimbangkan tanggapan anak dan kondisi baru yang akan anak hadapi
nanti setelah masuk sekolah lagi.
Banyak
orang tua sudah puas ketika telah memenuhi kebutuhan sekolah anaknya
berupa materi. Bagi orang tua, tanggung jawabnya cukup sampai di situ.
Kalaupun ada tambahan, orang tua merasa bertanggung jawab untuk
menasihati anaknya agar siap memasuki tahun ajaran baru. Dalam hal ini,
tuntutan penyesuaian diri dianggap hanya ada di pihak anak saja. Sudut
pandang bahwa penyesuaian diri perlu dilakukan oleh berbagai pihak,
kurang dipikirkan orang tua.
Ketika
anak memasuki tahun ajaran baru, sesungguhnya anak akan dihadapkan pada
berbagai kondisi baru. Anak akan berhadapan dengan teman-teman baru
dalam satu kelas, berhadapan dengan guru-guru baru, tuntutan materi
pelajaran yang semakin kompleks, perubahan waktu belajar dan istirahat
di sekolah, termasuk mungkin perubahan jam berangkat sekolah.
Perubahan-perubahan seperti tersebut di atas akan lebih terasa oleh
mereka yang memasuki sekolah baru atau naik jenjang yang lebih tinggi,
misalnya lulus SD lalu masuk SMP dan seterusnya. Perubahan-perubahan
yang terjadi kadang kurang disadari oleh anak dan orang tua. Kalaupun
disadari, belum semua orang tua mempersiapkan anaknya untuk nyaman dan
siap menjalani perubahan yang ada.
Perubahan menuntut penyesuaian diri
Saat
anak memasuki kondisi sekolah yang baru maka anak dituntut untuk
menyesuaikan diri dengan kondisi tersebut. Menyesuaikan diri di sini
bukan berarti anak berubah “menjadi” seperti tuntutan lingkungannya. Hal
yang diharapkan adalah anak dapat memadukan potensi dan kondisi
internal dirinya dengan lingkungan tempat ia berinteraksi. Sekecil
apapun perubahan yang terjadi, penyesuaian diri tetap perlu dilakukan
agar anak dapat tampil optimal. Misalnya, anak sangat terbiasa dengan
cara guru “X” mengajar, maka dengan cara tersebut ia dapat optimal
mencerap materi pelajaran. Kenyataannya, saat ia naik kelas, ia
mendapatkan guru yang mungkin berbeda cara pengajaranya dengan guru di
kelas sebelumnya, hal ini tentu mempengaruhi sikap belajar anak. Bisa
saja anak menjadi tidak tertarik untuk mempelajari materi tersebut dan
menjadi malas ke sekolah. Fenomena ini wajar dan mungkin terjadi pada
anak sekolah di kelasnya yang baru. Melihat kondisi seperti ini, anak
dituntut untuk melakukan suatu penyesuaian untuk mengikuti cara guru
mengajar. Pertanyaannya sekarang, apakah penyesuaian diri hanya perlu
dilakukan anak?
Anak Menyesuaikan Diri, Orang Tua Juga
Melihat
contoh di atas, orang tua dapat berpikir lebih lanjut bahwa saat anak
malas ke sekolah dan malas belajar, toh orang tua juga tidak dapat
tinggal diam. Orang tua akan mencari cara dan membantu mendampingi anak
untuk menghadapi perubahan belajar tersebut. Misalnya di tahun ajaran
yang lalu, orang tua tidak pusing atau repot memikirkan anaknya belajar,
akan tetapi di tahun ajaran baru sekarang, orang tua disibukkan oleh
anaknya yang malas belajar. Kondisi ini menyadarkan orang tua bahwa
penyesuaian diri bukan hanya dilakukan oleh anak tapi juga orang tua.
Contoh lain, saat di tahun ajaran lalu, anak sekolah pagi yang dimulai
pukul 07.00. Ternyata, di tahun ajaran ini, anak harus masuk siang
sehingga orang tua perlu mengubah jadual mengantar anak ke sekolah
disesuaikan dengan aktivitas orang tua. Selain itu, ada juga perubahan
jam belajar di rumah, perubahan jam istirahat dan makan sehingga waktu
aktivitas orang tua juga perlu penyesuaian. Hal kecil ini sering terjadi
namun kadang kurang disadari orang tua bahwa penyesuaian diri anak
adalah termasuk penyesuaian orang tua juga, hanya saja mungkin dengan
cara-cara yang berbeda.
Mendampingi anak dalam proses penyesuaian diri
Pengenalan karakter anak
Ketika
orang tua menyadari bahwa anak dan orang tua perlu penyesuaian diri
saat memasuki tahun ajaran baru, maka di siitulah orang tua belajar
lebih memahami karakter anak. Penyesuaian diri anak yang satu tentu
berbeda dengan anak lainnya. Pengalaman anak sulung yang mengalami
kendala ketika diajari oleh guru “X” bisa saja tidak dialami anak kedua
yang diajar guru yang sama. Pemahaman orang tua terhadap keunikan
karakter dari anak yang satu dengan lainnya akan membantu pendampingan
anak dalam menyesuaikan diri. Pada contoh kasus, orang tua hendaknya
jangan menyamaratakan pandangannya dari anak sulung ke anak yang lain.
Hendaknya orang tua memahami karakter sulung dan adiknya berbeda
sehingga orang tua lebih siap mendampingi si adik. Akan lebih mudah bagi
orang tua mendampingi anaknya jika orang tua mengenal betul karakter
anaknya.
Hubungan baik dan komunikasi yang mendukung
Hal
lain yang menjadi penting adalah hubungan anak dan orang tua serta
komunikasi yang terjadi di antara mereka. Hubungan orang tua yang hangat
dengan anaknya akan memudahkan orang tua dalam mendampingi anak
menyesuaikan diri. Orang tua menjadi lebih mudah menggali hal-hal yang
menghambat anaknya saat penyesuaian diri dan si anak akan lebih terbuka
pada orang tua. Saat terjalin hubungan baik dan komunikasi yang lancar
maka proses diskusi dan cara penyelesaian suatu masalah dapat berjalan
lancar. Misalnya, saat jam masuk sekolah berubah, maka orang tua dapat
berdiskusi dengan anak tentang siapa yang akan menjemput anak lalu anak
akan mengemukakan pendapatnya. Contoh lain, saat anak murung di rumah
setelah pulang sekolah, orang tua bisa menanyakan apa penyebabnya.
Dengan keterbukaan dan komunikasi yang lancar maka anak akan
menceritakan mengapa murung, lalu bersama-sama berdiskusi untuk mencari
solusinya.
Bersama-sama menyesuaikan diri
Menyadari
bahwa anak adalah bagian dari kehidupan orang tua dan orang tua punya
kendali pada anak, maka perlu disadari bahwa penyesuaian diri anak
adalah juga penyesuaian diri orang tua. Ada tipe orang tua yang
menyadari bahwa dirinya juga perlu menyesuaikan diri dengan kebutuhan
anak yang memasuki tahun ajaran baru. Di sisi lain ada juga orang tua
yang tidak terpikir bahwa anak membutuhkan bantuan orang tua dalam
menghadapi perubahan yang ada di tahun ajaran baru. Pilihannya ada di
tangan orang tua. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa kesadaran
akan perlunya penyesuaian diri yang baik dapat membantu anak dan orang
tua menjalani hari-harinya penuh bahagia tanpa beban.
Selamat memasuki tahun ajaran baru, selamat menyesuaikan diri.
|
Agung Budianto