DEPOK – Keterbatasan biaya tidak boleh menjadi
penghalang bagi seseorang untuk mengejar cita-cita. Semangat itu
dicontohkan Anistya Dewi Pratiwi (21), mahasiswi semester VII Jurusan
Sastra Jawa di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
(FIB UI).
Dara ayu asal Surakarta, Jawa Tengah, yang lahir pada
20 April 1992 ini sudah tiga kali berturut-turut meraih beasiswa dari
Yayasan Marubeni Indonesia asal Jepang. Setiap tahun, dia memperoleh
beasiswa dan biaya kebutuhan hidup sebesar Rp16 juta. Jika ditotal, uang
yang sudah dia raih atas prestasi itu sendiri mencapai Rp48 juta.
"Ini sebuah hal yang menakjubkan banget, keberuntungan
dan keajaiban dalam hidup saya. Beasiswa ini sangat membantu," kata
Anistya di Gedung Rektorat UI, Selasa (22/10/2013).
Tentu saja
Anistya beruntung mendapatkan beasiswa tersebut karena prestasi
akademiknya. Indeks prestasi kumulatif (IPK) terakhir yang dia peroleh
yakni 3,78. Selain itu, Anistya memang berasal dari keluarga yang kurang
mampu.
Sang ayah hanya bekerja sebagai seorang pemulung dan
pengepul barang rongsokan di Kecamatan Jebres, Surakarta. Ibunya tidak
bekerja, hanya membantu ayahnya dan mengurus satu-satunya adik perempuan
Anistya, yakni Vindiyana Kusuma Putri (16), siswa SMKN 8 Surakarta.
Anistya
kemudian mengajukan keringanan biaya kuliah di UI lewat Biaya
Operasional Pendidikan-Berkeadilan (BOPB). Dari Rp5 juta biaya kuliah
per semester, dia hanya harus membayar Rp600 ribu.
"Saat ini di Depok saya ngekos, Bapak hanya kerja pemulung atau ngumpulin barang-barang
bekas dari tetangga lalu dijual. Rata-rata bapak dapat uang sebulan
Rp500 ribu-lah. Karena itu sejak semester II saya sudah dapat beasiswa,
pertama kali dari UI," tutur putri sulung pasangan Misyanto (55) dan
Maweko Ati (45) ini.
Untuk mendapatkan keringanan tersebut, kata
Anistya, tentu dengan menyerahkan berbagai persyaratan, seperti surat
keterangan tidak mampu, kartu peserta Jamkesmas, hingga foto rumah di
kampung halamannya. Dia mengungkap, meski di tengah kota, rumahnya
masih terbuat dari gedek bambu dan berlantai semen.
"Kuliah di UI katanya mahal, enggak kok. Ini adalah universitas paling terbuka, ada biaya berkeadilan gitu. Benar-benar
adillah. Beasiswa yang saya dapat selama ini untuk penelitian ada di
Garut dan Solo, biaya hidup selama di Depok, lalu persiapan biaya
skripsi, dan biaya pulang kampung ke Surakarta. Buat bayar semesteran dan biaya makan," katanya.
Perjuangan
yang dilakukan Anistya tidak hanya mengandalkan IPK dan persyaratan
ekonomi, dia pun diwajibkan membuat tulisan atau esai soal Jepang setiap
tiga bulan sekali. Dia pernah menulis esai bertema New Leader of Japan, menceritakan tentang kepemimpinan di Jepang.
Minimnya
kondisi keluarga tidak membuat Anistya merasa rendah diri, dia justru
bangga dengan prestasi yang diraihnya. "Buat apa, karena pendidikan di
UI enggak dibeda-bedakan, kok," ungkapnya.
Gadis yang
bercita-cita ingin menjadi filolog atau pekerja naskah ini mengaku
sempat hanya dikirimkan uang biaya hidup sebesar Rp300 ribu pada
semester I saat dia belum mendapatkan beasiswa. Uang itu dipakai untuk
sewa asrama UI Rp200 ribu, sisanya Rp100 ribu harus cukup buat makan
sebulan. Bahkan, ingat dia, karena tak cukup biaya, dirinya pernah hanya
makan satu bungkus mi instan, itu pun dibagi dua untuk pagi dan sore.
"Saya
memang ingin jadi filolog. Sayang naskah-naskah kuno dengan aksara Jawa
milik kita justru dibawa ke Belanda. Ilmu-ilmu kita malah diteliti
Belanda. Saya ingin memajukan dan menghidupkan kembali budaya Jawa yang
kini semakin luntur," tuturnya.
|